"Orang cerdas memahami konsekuensi setiap jawaban dan menemukan bahwa di balik sebuah jawaban tersembunyi beberapa pertanyaan baru. Pertanyaan baru tersebut memiliki pasangan sejumlah jawaban yang kembali akan membawa pertanyaan baru dalam deretan eksponensial. Sehingga mereka yang benar-benar cerdas kebanyakan rendah hati, sebab mereka gamang pada akibat dari sebuah jawaban. Konsekuensi - konsekuensi itu mereka temui dalam jalur-jalur seperti labirin, jalur yang jauh menjalar-jalar, jalur yang tak dikenal di lokus-lokus antah berantah, tiada berujung. Mereka mengarungi jalur pemikiran ini, tersesat jauh di dalamnya, sendirian.
Godaan-godaan besar bersemayam di dalam kepala orang-orang cerdas. Di dalamnya gaduh karena penuh dengan skeptisisme. Selesai menyerahkan tugas kepada dosen, mereka selalu merasa tidak puas, selalu merasa bisa berbuat lebih baik dari apa yang telah mereka presentasikan. Bahkan ketika mendapat nilai A plus tertinggi, mereka masih saja mengutuki dirinya sepanjang malam.
Orang cerdas berdiri dalam gelap, sehingga mereka bisa melihat sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain. Mereka yang tak dipahami oleh lingkungannya, terperangkap dalam kegelapan itu. Semakin cerdas, semakin terkucil,semakin aneh mereka. Kita menyebut mereka: orang-orang yang sulit. Orang-orang sulit ini tak berteman, dan mereka berteriak putus asa mohon pengertian. Ditambah sedikit saja dengan sikap introvert, maka orang-orang cerdas macam ini tak jarang berakhir di sebuah kamar dengan perabot warna teduh dan musik klasik yang terdengar lamat-lamat. Itulah ruang terapi kejiwaan. Sebagian dari mereka amat menderita." (Andrea Hirata, "Laskar Pelangi")
Aku menulis tentang orang pintar, bukan karena merasa pintar. Cuma, kayaknya aku cukup banyak ketemu bermacam-macam orang pintar, dang yang jelas kondisi mereka jauh dari stereotype murid kesayangan guru yang tanpa perlu banyak belajar mendapat skor gilang-gemilang.
Terlalu banyak orang yang mengandai-andai bahwa menjadi orang cerdas berarti terhindar dari kewajiban untuk berusaha,lepas dari hukum "apa yang kau tabur itulah yang kau tuai", sekaligus bisa menyombongkan diri karena otak yang di atas rata-rata. Maka sekarang aku ingin menulis tentang bermacam-macam orang pintar yang nyatanya menderita.
Orang pintar menderita jenis pertama, adalah orang yang karena kepandaiannya harus menanggung beragam ekspektasi, baik dari orang-orang sekelilingnya, maupun dirinya sendiri. Orang macam ini biasanya menggunakan isi kepalanya untuk mengejar prestasi, baik dalam bentuk nilai, uang, atau status. Ironis, karena karunia kepandaiannya itu bukannya membuatnya bahagia malah memberi tekanan dan membuat stres. Tambahan lagi, orang pintar jenis ini tak jarang kecanduan berbagai2 penghargaan dan pengakuan, karena dari sana dia mendapatkan identitasnya. Sungguh kepandaian yang mubazir. Dan jelas, kalau ada negara di mana orang pintar tipe ini bertaburan, Singapura lah itu.
Orang pintar menderita jenis kedua, yaitu orang pintar yang selalu skeptis. Saking pintarnya, dia selalu mempertanyakan apa saja, dan yang paling celaka adalah bila tidak ada orang di sekitarnya yang sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaannya dan memuaskan keraguannya.Orang pintar begini biasanya berpendapat dunia ini jahat, manusia tidak ada yang dapat dipercaya, Tuhan itu tidak ada, dan berbagai pandangan negatif lainnya. Kasihan, karena bukannya melalui hidup dengan penuh ketenangan, mereka justru tidak punya keyakinan. Kecerdasan membuat mereka takut ditipu - ditipu orang, ditipu agama, ditipu masyarakat, ditipu sistem - maka mereka sangat sulit mempercayai sesuatu.
Yang ketiga, orang pintar yang sangat sangat sangat pintar sehingga, seperti kata Andrea Hirata, mereka dianggap orang yang sulit. Konyol memang, tapi seringkali orang-orang "kurang pintar" bukan saja tidak mau mengerti,malah sekalian mencemooh dan bahkan membasmi mereka.Makanya Van Gogh mati depresi setelah potong kuping, dan Copernicus divonis murtad oleh gereja jamannya. Kecerdasan mereka melampaui jamannya masing-masing, tapi justru karena itu Jangan salah, yang dibutuhkan orang-orang pintar jenis ini bukan pengakuan, tapi semata-mata pengertian. Adalah kebahagiaan yang tak terkira menemukan orang yang bisa mengerti kita, dan buat orang-orang cerdas , semakin cerdas, semakin kecil lah kemungkinan menemukan orang yang selevel dengan mereka.
Keempat, orang pintar yang karena kepintarannya menjadi malas dan sombong. Mereka merasa berhak mendapat jabatan paling tinggi, status paling terhormat karena, yah, seringkali mereka memang punya kemampuan untuk itu. Yang gawat adalah apabila mereka tidak bisa mendapatkannya, karena memang dalam dunia ini yang diperlukan bukan kepandaian saja. Maka mereka menjadi orang-orang pahit yang mengutuk dunia karena merasa dicurangi, menyia-nyiakan kepandaian mereka karena kesempatan emas yang dinanti-nanti tak kunjung tiba.
Kelima, dan inilah menurutku jenis orang pintar yang paling menderita, adalah mereka yang pintar, sadar dirinya pintar, tapi tidak berdaya meraih fasilitas untuk mengembangkan kepintaran itu. Kasus yang membikin aku malu jadi orang Indonesia karena bisa saja the next Einstein atau Feynman atau Mendel adalah orang Indonesia, tapi dia terpaksa putus sekolah waktu SD gara-gara kekurangan biaya, sekolah digusur, guru tidak memadai dan tidak berdedikasi, serta sejuta alasan lainnya. Aku sungguh beruntung karena rasa hausku akan ilmu bisa kupuaskan dengan begitu banyak cara, sementara pasti ada orang yang IQnya lebih tinggi 50 poin dariku dan kemauan belajarnya 3x lipat sekarang sedang memandikan kerbau di sungai. Orang boleh saja menghamburkan uang, menghamburkan air, menghamburkan makanan,menghamburkan waktu, tapi orang yang menolak dan menghamburkan kesempatan mendapatkan pendidikan sungguh tidak tahu kemewahan apa yang diberikan kepada mereka.
No comments:
Post a Comment